Jumat, 18 Juni 2010

PEMBAHASAN
Peran Dokter dalam Pengobatan
Dokter (dari bahasa Latin yang berarti "guru") adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang yang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran, seseorang harus menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran selama beberapa tahun tergantung sistem yang dipakai oleh Universitas tempat Fakultas Kedokteran itu berada.
Farmakologi merupakan sub bidang ilmu yang dipelajari dalam bidang farmasi maupun bidang kedokteran. Dalam bidang kedokteran ilmu ini dibatasi tujuannya agar obat dapat digunakan secara rasional untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit, demi keamanan dan khasiat terapi yang diharapkan. Penggunaan obat secara rasional yang dimaksudkan adalah pemberian obat terhadap seorang pasien suatu penyakit sesuai dengan jenis penyakit dan dosis serta cara penggunaannya.
Dokter bertanggung jawab terhadap diagnosis dan terapi. Obat harus dipesan dengan menulis resep. Bila ragu tentang isi resep atau tidak terbaca, baik oleh perawat maupun apoteker, penulis resep itu harus dihubungi untuk penjelasan. Peran penting lainnya adalah sebagai narasumber informasi obat. Apoteker bekerja sebagai konsultan spesialis untuk profesi kedokteran, dan dapat memberi nasehat kepada staf keperawatan dan profesi kesehatan lain mengenai semua aspek penggunaan obat, dan memberi konsultasi kepada pasien tentang obatnya bila diminta.
Meresepkan obat dan melakukan penatalaksanaan hanya bilamana mengetahui keadaan dan kebutuhan pasien. Sebaiknya tidak merekomendasikan pemeriksaan atau penatalaksanaan yang tidak perlu kepada pasien dan tidak menunda penatalaksanaan yang tepat maupun merujuk pasien. Melaporkan reaksi obat yang merugikan dan bekerjasama memenuhi permintaan informasi dan organisasi yang memantau kesehatan masyarakat
Peran dokter sebagai medical care helper sangat dominan. Sebagai pemberi tindakan penyembuhan pasien, dokter mengambil penentu dalam rencana pengobatan pasien, yang salah satunya menentukan obat yang digunakan pasien (Pharmaceutical Care). Oleh karena itu, yang tidak kalah pentingnya adalah tugas dokter untuk memberikan penjelasan yang segamblang-gamblangnya tentang terapi dan obat yang diberikan kepada pasien. (Arif /Humas RSML  )
Dokter dan perawat merupakan dua professi yang tugasnya berlainan. Dimana dokter bertugas untuk memberi obat pasien , manjaga keselamatan pasien , memberi instruksi apa apa saja yang mendukung ke arah langkah kondisi pasien semakin membaik atau setidaknya tidak memburuk , dan bertugas untuk memberikan terapi kepada pasien . Sementara perawat bertugas untuk mengawasi dan menjaga jangan sampai kondisi pasien memburuk , dan menjaga agar semua instruksi dari dokter dilaksanakan .
Dokter mendiagnosis penyakit, menentukan tindakan medis (preventif atau kuartif)dan menentukan jenis obat dan memerintahkan kepada perawat untuk melaksanakan tugas yang didelegasikan/dipercayakan padanya atau sekadar membatu tugas dokter dan tak boleh melakukan tindakan diluar petunjuk/perintah dokter.
Jadi dalam puskesmaspun seharusnya tanggung jawab pengobatan tetap dibawah pengawasan seorang dokter.
Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.
Dokter memiliki pertimbangan ilmiah medis untuk menentukan bentuk sediaan obat untuk pasiennya,apakah puyer,tablet,syrop,suntikan,tetes,salep ataupun obat hirupan. Racikan obat puyer banyak dipilih dokter untuk anak sakit,sebab harganya murah,dosisnya tepat,bersifat racikan personal (komposisinya merupakan ciri khas dokter tersebut),tidak mudah ditiru dan tidak dapat dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep (self medication) yang dapat merugikan dokter.
Kecenderungan dokter dalam meresepkan obat puyer pada pasien anak adalah wajar,logis dan dapat dipertanggung jawabkan,namun demikian ada juga kecenderungan yang keliru,yaitu dengan meracik lebih dari 3 macam obat dalam satu kemasan puyer (polifarmasi) Polifarmasi biasanya terjadi karena keputusan dokter tidak didasari pemahaman yang benar akan proses interaksi antar obat didalam kertas kemasan pembungkus obat puyer,maupun dalam tubuh pasien (farmakokinetik). Polifarmasi sebenarnya lebih menggambarkan “kebingungan” dokter,kurang tajamnya analisa atas berbagai keluhan klinis yang muncul,dan lemahnya integritas ataupun otoritas dokter dalam memutuskan sebuah intervensi medis yang tepat.
Tim inti WHO yang mengurus tentang rasionalitas obat (WHO Care Drug) telah menentukan beberapa indikator  untuk mengukur tingkat rasionalitas peresepan dokter. Beberapa yang perlu diketahui adalah jumlah kunjungan tanpa pemberian resep,persentase obat generik,persentase antibiotika,dan persentase obat dalam formularium dasar. Perlu diingat bahwa tugas dokter yang utama adalah meningkatkan rasa nyaman bagi para pasiennya,bukan mengobati  (task of a doctor;to treat is often,to cure is sometimes,to make comfort is always)
Tanggung jawab perawatan mewajibkan seorang dokter untuk mengikuti perkembangan pasien. Ia harus yakin bahwa – contohnya – pasien telah mengerti instruksi penggunaan obat, restriksi aktivitas, dan kapan harus kembali untuk kontrol. Bila pasien merupakan anak – anak, tentu dokter harus  mengkomunikasikan instruksi kepada orangtua. Jika pasien merupakan seorang lanjut usia atau dianggap inkompeten, instruksi harus diberikan juga kepada keluarga atau orang dewasa yang bertanggung jawab merawat.  

Contoh lain, bila ada obat yang mengganggu pasien misalnya dalam mengemudi atau melakukan aktivitas tertentu yang akan dilakukan pasien, dokter harus memberitahukan hal tersebut kepada pasien. Kelalaian memberikan informasi kepada pasien hingga menimbulkan kerugian baik terhadap pasien sendiri maupun orang lain akan menimbulkan tuntutan malpraktek terhadap doker yang meresepkan obat tersebut.

Seorang dokter juga bertanggung jawab untuk memberikan perhatian pada keluhan pasien. Kesalahan dalam mendengar apa yang pasien coba untuk diceritakan padanya mengenai beberapa gejala atau perubahan kondisi dapat mengakibatkan dokter kehilangan kepercayaan dari tanda awal terjadinya masalah yang serius. Bila harus terjadi penundaan saat seorang dokter seharusnya bicara kepada pasien, menghubungi toko obat dan meresepkan obat berdasarkan apa yang dikatakan asisten merupakan tindakan yang berbahaya. Begitu pula kegagalan dalam berkomunikasi dan mendengarkan passien dapat menhasilkan konsekuensi serius yaitu kegagalan memperoleh riwayat kesehatan.

Kelemahan dalam peresepan :
Kesalahan pemberian obat yang sering terjadi justru bukan karena kesalahan diagnosis, melainkan lebih sering dikarenakan kurang diperhatikannya dosis dan cara pemakaian obat yang tidak disesuaikan dengan kondisi pasien. Hal ini disebabkan karena banyaknya obat yang tidak disesuaikan dengan kondisi pasien. Hal ini disebabkan karena banyaknya obat yang beredar sekarang ini khususnya di Indonesia, yang belum memenuhi syarat product insert yang baik.
Sementara daya ingat manusia khususnya seorang dokter atau paramedis non dokter mempunyai kapasitas yang terbatas untuk mengingat semua jenis obat yang beredar beserta dosis dan cara penggunaannya, sehingga pemberian obat kadang hanya bersifat uji coba. Sifat uji coba ini justru akan menimbulkan efek samping negatif yang merugikan baik bagi pasien suatu penyakit maupun bagi seorang dokter atau paramedis non dokter itu sendiri.

Penyebab lain yang cukup penting untuk ketidakrasionalan terapi dokter adalah kurangnya pengalaman dan pelatihan untuk para dokter muda,sehingga menyebabkan kurangnya keyakinan akan pengobatan yang rasional,meskipun sudah mampu mendiagnosis secara tepat. Selain itu ,kurangnya dukungan dari teman sejawat dokter lain,kurang sistem audit bagi komunitas dokter dan asosiasi profesi (dokter spesialis),informasi sepihak dan bertendensi bisnis dari industri farmasi oleh petugas medical representative (detailer),kurangnya penelitian independen yang tidak memihak,kurangnya pemahaman dokter atas akibat buruk dari resep yang tidak rasional.
Resep mungkin ditulis sedikit menyimpang, sering-sering bagian dari kelalaian dalam tugas dokter, seperti keserakahan atau kemalasan. Sedikit saja sebab ketidakcakapan. Kalau dokter merasa diberi makan dari menulis resep atau tahu ada obat lebih murah tetapi malas mencari pilihan lain, resep yang seharusnya padat-akal bisa cenderung padat-ongkos.
Begitu juga jika semua sakit perut dianggap usus buntu, semua persalinan perlu sectio, atau semua keluhan sakit perlu masuk rumah sakit, posisi pasien selalu di pihak tak berdaya. Seberapa pun serong praktik dokter, pasien tetap tidak tahu bila yang dokter lakukan ada yang tidak tepat atau keliru.
Kondisi seperti itu terjadi karena dokter memiliki otoritas tinggi dalam diagnostik. Ilmu pengobatan yang dokter kantongi mempunyai otoritas memberi label kepada keluhan atau penyakit. Repotnya ini bentuk monopoli sebuah profesi yang menyangkut hidup mati seseorang.
Harus diakui, dokter bisa alpa, atau luput dalam mendiagnosis, selain bisa culas juga dalam menggunakan kekuasaan profesi. Bila yang menyimpang itu terjadi, orang sehat mungkin diberi resep sehingga malah menjadi sakit. Yang sakit bertambah penyakitnya bila resep ditulis berlebihan (polypharmacy). Di Bangladesh rata-rata resep menulis 7 sampai 9 jenis obat. Cuma mitos belaka bila bonafiditas dokter seakan ditentukan oleh seberapa panjang resep ditulis.


Tak seorang tahu, kecuali ada tilik sejawat bila dokter boros, tak tepat, salah alamat dalam memberi obat, atau memilih tindakan medis. Kalau tilik sejawat tak ada, dalam kondisi praktik miring seperti itulah barangkali resep dan tindakan medis yang dokter ambil perlu diaudit.
Terus terang sebab ada kesenjangan kompetensi antara dokter dengan awam sehingga apa pun diagnosis, obat, dan pilihan tindakan yang dokter lakukan, tak pasien pahami. Bahkan orang patek diberi resep ayan sekalipun, siapa yang tahu itu keliru. Kompetensi medis membuat otoritas dokter tak terjangkau pasien. Itu sebabnya, kendati culas, tanpa audit medik, tak selalu mudah dokter dipersalahkan.
. Dokter hanya diajarkan Farmakologi, namun tidak khusus dididik meracik-meramu obat. Farmakope, panduan informasi therapeutik dan sifat racun obat (toxicity) suatu negara tidak ditulis untuk dokter tetapi memberi standar teknis yang harus dipenuhi dalam preparasi obat yang akan dipasarkan.
Kepelikan lain dalam menulis resep pada hampir semua negara, para dokter sama sekali tidak cukup baik menyiapkan diri untuk menentukan obat yang akan diresepkan. Tidak cukup waktu atau tidak peduli bersikap arif memilih obat. Konsekuensinya, tanpa kontrol pihak di luar medis, pekerjaan para dokter bisa berubah menjadi "mesin" pembuat resep yang boleh jadi tidak berpihak kepada kepentingan pasien.


Daftar Pustaka
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0310/06/opini/600414.htm
http://klinik-sehat.com/2009/03/03/kontoversi-obat-puyer-untuk-anak/
http://drhandri.wordpress.com/2007/06/18/kesepakatan-bersama-etika-promosi-obat-gp-farmasi-indonesia-dengan-ikatan-dokter-indonesia/
http://www.freewebs.com/tanggungjawabmedis/aplikasi.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar