Jumat, 18 Juni 2010

DEFINISI

Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.

Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :

1. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ

2. Respon stres simpatis

3. Perdarahan dan pembekuan darah

4. Kontaminasi bakteri

5. Kematian sel

Mekanisme terjadinya luka :
Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi)
Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
Luka Bakar (Combustio)

Menurut tingkat Kontaminasi terhadap luka :
Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.

Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka, dibagi menjadi :
Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.

PROSES PENYEMBUHAN LUKA


Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan “proses peradangan”, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling), kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function). Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase :
Fase Inflamasi

Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan “substansi vasokonstriksi” yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan adanya substansi vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.

Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan : eritema, hangat pada kulit, oedema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.

2. Fase Proliferatif

Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan.

Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan “granulasi”.

Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktor yang dibentuk oleh makrofag dan platelet.

3. Fase Maturasi

Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah ; menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.

Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal. Meskipun proses penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka. Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang gizi, diserta penyakit sistemik (diabetes mielitus).

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA
Usia, Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan
Infeksi, Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.
Hipovolemia, Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
Hematoma, Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
Benda asing, Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”).
Iskemia, Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
Diabetes, Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
Pengobatan, Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera,• Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan, Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia yang telah dijalankan selama ini masih memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara pendekatan pembangunan kesehatan masyarakat dengan tanggapan masyarakat, manfaat yang diperoleh masyarakat dan partisipasi masyarakat yang diharapkan. Meskipun di dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah ditegaskan bahwa tujuan pembangunan kesehatan masyarakat salah satunya adalah meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya. Oleh karena itu pemerintah maupun pihak-pihak yang memiliki perhatian cukup besar terhadap pembangunan kesehatan masyarakat –termasuk perawat spesialis komunitas perlu mencoba mencari terobosan yang kreatif agar program-program tersebut dapat dilaksanakan secara optimal dan berkesinambungan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka sebagai rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
(1) Upaya apa saja yang dapat dilakukan oleh perawat dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat
(2) Manfaat apa saja yang dapat diambil dalam upaya peningkatan status kesehatan masyarakat
(3) Bagaimana bentuk palaksanaan dalam rangka peningkatan status kesehatan masyarakat

C. Tujuan

Tujuan umum pembuatan makalah ini adalah untuk :
(1) Mengidentifikasi model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat;
(2) Menganalisis kemanfaatan model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masyarakat; dan
(3) Mengidentifikasi implikasi model pada pengembangan kebijakan keperawatan komunitas dan promosi kesehatan.masyarakat.

D. Manfaat

Manfaat dari pembuatan makalahn ini adalah sebagai sarana untuk memperkaya pengetahuan bagi pembaca khususnya tentang paran parawat dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori
Perawat dapat menciptakan lingkungan yang sehat dengan cara mempromosikan perilaku sehat seperti mencuci tangan sebelum beraktifitas, senantiasa menutup mulut ketika batuk, tidak meludah sembarangan dan kebiasaan-kebiasaan kecil lainnya. Selain itu perawat di puskesmas juga dapat secara proaktif dalam mengadakan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di wilayahnya terkait masalah kesehatan aktual yang dapat menyebar dengan cepat seperti flu burung dan demam berdarah. Diharapkan setelah dilakukan hal-hal tersebut, indikator yang kedua akan terpenuhi yaitu masyarakat memiliki perilaku sehat yang pada akhirnya membentuk lingkungan yang sehat pula.

Dalam hal ini perawat dapat menggunakan metode kunjungan ke rumah-rumah klien yang membutuhkan pelayanan kesehatan ataupun dengan menggunakan kemajuan teknologi untuk mempermudah komunikasi seperti pesawat telepon maupun video conference yang memang belum begitu berkembang di Indonesia. Selain itu, perawat juga harus menambah pengetahuannya dengan terus menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi guna meningkatkan kualitas pelayanannya. Perilaku sehat dan lingkungan yang sehat serta ditunjang dengan fasilitas kesehatan yang memadai dan kemampuan klien untuk mendapatkan pelayanan, akan membuat derajat kesehatan masyarakat juga meningkat.
Berdasarkan penjelasan model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masayarakat, maka perlu dianalisis beberapa aspek yaitu :

1. Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Nies dan Mc. Ewan (2001) mendeskripsikan pengembangan kesehatan masyarakat (community health development) sebagai pendekatan dalam pengorganisasian masyarakat yang mengkombinasikan konsep, tujuan, dan proses kesehatan masyarakat dan pembangunan masyarakat. Tugas perawat komunitas tidak bisa terlepas dari kelompok masyarakat sebagai klien termasuk sub-sub sistem yang terdapat di dalamnya yaitu individu, keluarga, dan kelompok khusus.

Menurut Nies dan McEwan (2001) perawat komunitas dalam melakukan upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatan masyarakat dapat menggunakan alternatif model pengorganisasian masyarakat yaitu perencanaan sosial, aksi sosial atau pengembangan masyarakat. Tujuan dari penggunaan model pengembangan masyarakat adalah agar individu dan kelompok-kelompok di masyarakat dapat berperan aktif dalam setiap tahapan proses keperawatan dan perubahan perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) dan kemandirian masyarakat yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatannya di masa mendatang.

Menurut Mapanga dan Mapanga (2004) tujuan dari proses keperawatan komunitas adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian fungsional klien atau komunitas melalui pengembangan kognisi dan kemampuan merawat dirinya sendiri. Pengembangan kognisi dan kemampuan masyarakat difokuskan pada dayaguna aktifitas kehidupan, pencapaian tujuan, perawatan mandiri dan adaptasi masyarakat terhadap permasalahan kesehatan sehingga akan berdampak pada peningkatan partisipasi aktif masyarakat.

2. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat

Menurut Hitchcock, Scubert, dan Thomas (1999) fokus kegiatan promosi kesehatan adalah konsep pemberdayaan (empowerment) dan kemitraan (partnership). Konsep pemberdayaan dapat dimaknai secara sederhana sebagai proses pemberian kekuatan atau dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada masyarakat antara lain adanya dukungan, pemberdayaan, kekuatan ide baru, dan kekuatan mandiri untuk membentuk pengetahuan baru. Sedangkan kemitraan memiliki definisi hubungan atau kerja sama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan atau memberikan manfaat (Depkes RI, 2005). Partisipasi klien atau masyarakat dikonseptualisasikan sebagai peningkatan inisiatif diri terhadap segala kegiatan yang memiliki kontribusi pada peningkatan kesehatan dan kesejahteraan.


Perawat spesialis komunitas ketika menjalin suatu kemitraan dengan masyarakat maka ia juga harus memberikan dorongan kepada masyarakat. Kemitraan yang dijalin memiliki prinsip “bekerja bersama” dengan masyarakat bukan “bekerja untuk” masyarakat, oleh karena itu perawat spesialis komunitas perlu memberikan dorongan atau pemberdayaan kepada masyarakat agar muncul partisipasi aktif masyarakat. Membangun kesehatan masyarakat tidak terlepas dari upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas, kepemimpinan dan partisipasi masyarakat namun perawat spesialis komunitas perlu membangun dan membina jejaring kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait misalnya: profesi kesehatan lainnya, penyelenggara pemeliharaan kesehatan, Puskesmas, donatur atau sponsor, sektor terkait, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat.

Kesehatan masyarakat digambarkan sebagai bangun segitiga beserta unsur partisipasi, kapasitas, dan kepemimpinan (Nies & Mc. Ewan, 2001). Partisipasi berkaitan dengan peran serta aktif seluruh komponen masyarakat, yaitu individu, keluarga, kelompok risiko tinggi, dan sektor terkait lainnya, dalam upaya perencanaan dan peningkatan derajat kesehatan secara komprehensif. Kapasitas memiliki makna tingkat pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan anggota masyarakat secara keseluruhan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat.

3. Sistem Pelayanan Kesehatan

1. Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan
2. Meningkatkan pelayanan pasca kesakitan (pasca hospitalisasi) pada masyarakat.
3. Meningkatkan peran serta aktif individu, keluarga, kelompok khusus, dan masyarakat dalam pengembangan kesehatan masyarakat.
4. Meningkatkan kapasitas, partisipasi, dan kepemimpinan anggota masyarakat dalam pengembangan kesehatan masyarakat.
5. Meningkatkan pengetahuan, kepercayaan dan nilai-nilai masyarakat dalam hidup berperilaku sehat.
6. Meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat masyarakat terutama upaya kesehatan mandiri yang bersifat preventif dan promotif.
7. Menurunkan insidensi penyakit menular berbasis masyarakat dan lingkungan.
8. Memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan keperawatan/ kesehatan Individu, keluarga, kelompok, masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan serta pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka kemandirian di bidang keperawatan/ kesehatan

B. Analisis Masalah

Salah satu intervensi keperawatan komunitas di Indonesia yang belum banyak digali adalah kemampuan perawat spesialis komunitas dalam membangun jejaring kemitraan di masyarakat. Padahal, membina hubungan dan bekerja sama dengan elemen lain dalam masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang memiliki pengaruh signifikan pada keberhasilan program pengembangan kesehatan masyarakat (Kahan & Goodstadt, 2001). Pada bagian lain Ervin (2002) menegaskan bahwa perawat spesialis komunitas memiliki tugas yang sangat penting untuk membangun dan membina kemitraan dengan anggota masyarakat. Bahkan Ervin mengatakan bahwa kemitraan merupakan tujuan utama dalam konsep masyarakat sebagai sebuah sumber daya yang perlu dioptimalkan (community-as-resource), dimana perawat spesialis komunitas harus memiliki ketrampilan memahami dan bekerja bersama anggota masyarakat dalam menciptakan perubahan di masyarakat.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pengorganisasikan komponen masyarakat yang dilakukan oleh komunitas dalam upaya peningkatan, perlindungan dan pemulihan status kesehatan masyarakat dapat menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat (community development). Pengembangan kesehatan masyaraka merupakan paradigma perawat komunitas yang relevan dengan situasi dan kondisi profesi perawat di Indonesia.Mmembina hubungan dan bekerja sama dengan elemen lain dalam masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang memiliki pengaruh signifikan pada keberhasilan program pengembangan kesehatan masyarakat. Perawat komunitas harus memiliki ketrampilan memahami dan bekerja bersama anggota masyarakat dalam menciptakan perubahan di masyarakat. Membangun kesehatan masyarakat tidak terlepas dari upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas, kepemimpinan dan partisipasi masyarakat namun perawat spesialis komunitas perlu membangun dan membina jejaring kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait misalnya: profesi kesehatan lainnya, penyelenggara pemeliharaan kesehatan, Puskesmas, donatur atau sponsor, sektor terkait, organisasi masyarakat, dan tokoh masyarakat.

Berdasarkan penjelasan model kemitraan keperawatan komunitas dalam pengembangan kesehatan masayarakat, maka perlu dianalisis beberapa aspek yaitu :

1. Pengembangan Kesehatan Masyarakat
2. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat
3. Sistem Pelayanan Kesehatan

B. SARAN

Melalui makalah ini diharapkan bertambahnya pengetahuan perawat mengenai perannya dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat. Dan perawat dapat mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat nya kepada masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.T. & J. McFarlane, 2000. Community as Partner Theory and Practice in Nursing 3rd Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Black, M. 2002. A Handbook on Advocacy – Child Domestic Workers: Finding a Voice. Anti-Slavery International. Sussex, UK: The Printed Word.

Bracht, N. (Ed.). 1990. Health promotion at the community level. Newbury Park, CA: Sage.

Depkes RI. 2004a. Kajian Sistem Pembiayaan, Pendataan dan Kontribusi APBD untuk Kesinambungan Pelayanan Keluarga Miskin (Exit Strategy). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. 2004b. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
PEMBAHASAN
Peran Dokter dalam Pengobatan
Dokter (dari bahasa Latin yang berarti "guru") adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang yang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran, seseorang harus menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran selama beberapa tahun tergantung sistem yang dipakai oleh Universitas tempat Fakultas Kedokteran itu berada.
Farmakologi merupakan sub bidang ilmu yang dipelajari dalam bidang farmasi maupun bidang kedokteran. Dalam bidang kedokteran ilmu ini dibatasi tujuannya agar obat dapat digunakan secara rasional untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit, demi keamanan dan khasiat terapi yang diharapkan. Penggunaan obat secara rasional yang dimaksudkan adalah pemberian obat terhadap seorang pasien suatu penyakit sesuai dengan jenis penyakit dan dosis serta cara penggunaannya.
Dokter bertanggung jawab terhadap diagnosis dan terapi. Obat harus dipesan dengan menulis resep. Bila ragu tentang isi resep atau tidak terbaca, baik oleh perawat maupun apoteker, penulis resep itu harus dihubungi untuk penjelasan. Peran penting lainnya adalah sebagai narasumber informasi obat. Apoteker bekerja sebagai konsultan spesialis untuk profesi kedokteran, dan dapat memberi nasehat kepada staf keperawatan dan profesi kesehatan lain mengenai semua aspek penggunaan obat, dan memberi konsultasi kepada pasien tentang obatnya bila diminta.
Meresepkan obat dan melakukan penatalaksanaan hanya bilamana mengetahui keadaan dan kebutuhan pasien. Sebaiknya tidak merekomendasikan pemeriksaan atau penatalaksanaan yang tidak perlu kepada pasien dan tidak menunda penatalaksanaan yang tepat maupun merujuk pasien. Melaporkan reaksi obat yang merugikan dan bekerjasama memenuhi permintaan informasi dan organisasi yang memantau kesehatan masyarakat
Peran dokter sebagai medical care helper sangat dominan. Sebagai pemberi tindakan penyembuhan pasien, dokter mengambil penentu dalam rencana pengobatan pasien, yang salah satunya menentukan obat yang digunakan pasien (Pharmaceutical Care). Oleh karena itu, yang tidak kalah pentingnya adalah tugas dokter untuk memberikan penjelasan yang segamblang-gamblangnya tentang terapi dan obat yang diberikan kepada pasien. (Arif /Humas RSML  )
Dokter dan perawat merupakan dua professi yang tugasnya berlainan. Dimana dokter bertugas untuk memberi obat pasien , manjaga keselamatan pasien , memberi instruksi apa apa saja yang mendukung ke arah langkah kondisi pasien semakin membaik atau setidaknya tidak memburuk , dan bertugas untuk memberikan terapi kepada pasien . Sementara perawat bertugas untuk mengawasi dan menjaga jangan sampai kondisi pasien memburuk , dan menjaga agar semua instruksi dari dokter dilaksanakan .
Dokter mendiagnosis penyakit, menentukan tindakan medis (preventif atau kuartif)dan menentukan jenis obat dan memerintahkan kepada perawat untuk melaksanakan tugas yang didelegasikan/dipercayakan padanya atau sekadar membatu tugas dokter dan tak boleh melakukan tindakan diluar petunjuk/perintah dokter.
Jadi dalam puskesmaspun seharusnya tanggung jawab pengobatan tetap dibawah pengawasan seorang dokter.
Seorang dokter dalam melakukan pekerjaan kedokterannya tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Kaitannya dengan promosi obat adalah dokter dilarang menjuruskan pasien untuk membeli obat tertentu karena dokter yang bersangkutan telah menerima komisi dari perusahaan farmasi tertentu.
Dokter memiliki pertimbangan ilmiah medis untuk menentukan bentuk sediaan obat untuk pasiennya,apakah puyer,tablet,syrop,suntikan,tetes,salep ataupun obat hirupan. Racikan obat puyer banyak dipilih dokter untuk anak sakit,sebab harganya murah,dosisnya tepat,bersifat racikan personal (komposisinya merupakan ciri khas dokter tersebut),tidak mudah ditiru dan tidak dapat dibeli sendiri oleh pasien tanpa resep (self medication) yang dapat merugikan dokter.
Kecenderungan dokter dalam meresepkan obat puyer pada pasien anak adalah wajar,logis dan dapat dipertanggung jawabkan,namun demikian ada juga kecenderungan yang keliru,yaitu dengan meracik lebih dari 3 macam obat dalam satu kemasan puyer (polifarmasi) Polifarmasi biasanya terjadi karena keputusan dokter tidak didasari pemahaman yang benar akan proses interaksi antar obat didalam kertas kemasan pembungkus obat puyer,maupun dalam tubuh pasien (farmakokinetik). Polifarmasi sebenarnya lebih menggambarkan “kebingungan” dokter,kurang tajamnya analisa atas berbagai keluhan klinis yang muncul,dan lemahnya integritas ataupun otoritas dokter dalam memutuskan sebuah intervensi medis yang tepat.
Tim inti WHO yang mengurus tentang rasionalitas obat (WHO Care Drug) telah menentukan beberapa indikator  untuk mengukur tingkat rasionalitas peresepan dokter. Beberapa yang perlu diketahui adalah jumlah kunjungan tanpa pemberian resep,persentase obat generik,persentase antibiotika,dan persentase obat dalam formularium dasar. Perlu diingat bahwa tugas dokter yang utama adalah meningkatkan rasa nyaman bagi para pasiennya,bukan mengobati  (task of a doctor;to treat is often,to cure is sometimes,to make comfort is always)
Tanggung jawab perawatan mewajibkan seorang dokter untuk mengikuti perkembangan pasien. Ia harus yakin bahwa – contohnya – pasien telah mengerti instruksi penggunaan obat, restriksi aktivitas, dan kapan harus kembali untuk kontrol. Bila pasien merupakan anak – anak, tentu dokter harus  mengkomunikasikan instruksi kepada orangtua. Jika pasien merupakan seorang lanjut usia atau dianggap inkompeten, instruksi harus diberikan juga kepada keluarga atau orang dewasa yang bertanggung jawab merawat.  

Contoh lain, bila ada obat yang mengganggu pasien misalnya dalam mengemudi atau melakukan aktivitas tertentu yang akan dilakukan pasien, dokter harus memberitahukan hal tersebut kepada pasien. Kelalaian memberikan informasi kepada pasien hingga menimbulkan kerugian baik terhadap pasien sendiri maupun orang lain akan menimbulkan tuntutan malpraktek terhadap doker yang meresepkan obat tersebut.

Seorang dokter juga bertanggung jawab untuk memberikan perhatian pada keluhan pasien. Kesalahan dalam mendengar apa yang pasien coba untuk diceritakan padanya mengenai beberapa gejala atau perubahan kondisi dapat mengakibatkan dokter kehilangan kepercayaan dari tanda awal terjadinya masalah yang serius. Bila harus terjadi penundaan saat seorang dokter seharusnya bicara kepada pasien, menghubungi toko obat dan meresepkan obat berdasarkan apa yang dikatakan asisten merupakan tindakan yang berbahaya. Begitu pula kegagalan dalam berkomunikasi dan mendengarkan passien dapat menhasilkan konsekuensi serius yaitu kegagalan memperoleh riwayat kesehatan.

Kelemahan dalam peresepan :
Kesalahan pemberian obat yang sering terjadi justru bukan karena kesalahan diagnosis, melainkan lebih sering dikarenakan kurang diperhatikannya dosis dan cara pemakaian obat yang tidak disesuaikan dengan kondisi pasien. Hal ini disebabkan karena banyaknya obat yang tidak disesuaikan dengan kondisi pasien. Hal ini disebabkan karena banyaknya obat yang beredar sekarang ini khususnya di Indonesia, yang belum memenuhi syarat product insert yang baik.
Sementara daya ingat manusia khususnya seorang dokter atau paramedis non dokter mempunyai kapasitas yang terbatas untuk mengingat semua jenis obat yang beredar beserta dosis dan cara penggunaannya, sehingga pemberian obat kadang hanya bersifat uji coba. Sifat uji coba ini justru akan menimbulkan efek samping negatif yang merugikan baik bagi pasien suatu penyakit maupun bagi seorang dokter atau paramedis non dokter itu sendiri.

Penyebab lain yang cukup penting untuk ketidakrasionalan terapi dokter adalah kurangnya pengalaman dan pelatihan untuk para dokter muda,sehingga menyebabkan kurangnya keyakinan akan pengobatan yang rasional,meskipun sudah mampu mendiagnosis secara tepat. Selain itu ,kurangnya dukungan dari teman sejawat dokter lain,kurang sistem audit bagi komunitas dokter dan asosiasi profesi (dokter spesialis),informasi sepihak dan bertendensi bisnis dari industri farmasi oleh petugas medical representative (detailer),kurangnya penelitian independen yang tidak memihak,kurangnya pemahaman dokter atas akibat buruk dari resep yang tidak rasional.
Resep mungkin ditulis sedikit menyimpang, sering-sering bagian dari kelalaian dalam tugas dokter, seperti keserakahan atau kemalasan. Sedikit saja sebab ketidakcakapan. Kalau dokter merasa diberi makan dari menulis resep atau tahu ada obat lebih murah tetapi malas mencari pilihan lain, resep yang seharusnya padat-akal bisa cenderung padat-ongkos.
Begitu juga jika semua sakit perut dianggap usus buntu, semua persalinan perlu sectio, atau semua keluhan sakit perlu masuk rumah sakit, posisi pasien selalu di pihak tak berdaya. Seberapa pun serong praktik dokter, pasien tetap tidak tahu bila yang dokter lakukan ada yang tidak tepat atau keliru.
Kondisi seperti itu terjadi karena dokter memiliki otoritas tinggi dalam diagnostik. Ilmu pengobatan yang dokter kantongi mempunyai otoritas memberi label kepada keluhan atau penyakit. Repotnya ini bentuk monopoli sebuah profesi yang menyangkut hidup mati seseorang.
Harus diakui, dokter bisa alpa, atau luput dalam mendiagnosis, selain bisa culas juga dalam menggunakan kekuasaan profesi. Bila yang menyimpang itu terjadi, orang sehat mungkin diberi resep sehingga malah menjadi sakit. Yang sakit bertambah penyakitnya bila resep ditulis berlebihan (polypharmacy). Di Bangladesh rata-rata resep menulis 7 sampai 9 jenis obat. Cuma mitos belaka bila bonafiditas dokter seakan ditentukan oleh seberapa panjang resep ditulis.


Tak seorang tahu, kecuali ada tilik sejawat bila dokter boros, tak tepat, salah alamat dalam memberi obat, atau memilih tindakan medis. Kalau tilik sejawat tak ada, dalam kondisi praktik miring seperti itulah barangkali resep dan tindakan medis yang dokter ambil perlu diaudit.
Terus terang sebab ada kesenjangan kompetensi antara dokter dengan awam sehingga apa pun diagnosis, obat, dan pilihan tindakan yang dokter lakukan, tak pasien pahami. Bahkan orang patek diberi resep ayan sekalipun, siapa yang tahu itu keliru. Kompetensi medis membuat otoritas dokter tak terjangkau pasien. Itu sebabnya, kendati culas, tanpa audit medik, tak selalu mudah dokter dipersalahkan.
. Dokter hanya diajarkan Farmakologi, namun tidak khusus dididik meracik-meramu obat. Farmakope, panduan informasi therapeutik dan sifat racun obat (toxicity) suatu negara tidak ditulis untuk dokter tetapi memberi standar teknis yang harus dipenuhi dalam preparasi obat yang akan dipasarkan.
Kepelikan lain dalam menulis resep pada hampir semua negara, para dokter sama sekali tidak cukup baik menyiapkan diri untuk menentukan obat yang akan diresepkan. Tidak cukup waktu atau tidak peduli bersikap arif memilih obat. Konsekuensinya, tanpa kontrol pihak di luar medis, pekerjaan para dokter bisa berubah menjadi "mesin" pembuat resep yang boleh jadi tidak berpihak kepada kepentingan pasien.


Daftar Pustaka
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0310/06/opini/600414.htm
http://klinik-sehat.com/2009/03/03/kontoversi-obat-puyer-untuk-anak/
http://drhandri.wordpress.com/2007/06/18/kesepakatan-bersama-etika-promosi-obat-gp-farmasi-indonesia-dengan-ikatan-dokter-indonesia/
http://www.freewebs.com/tanggungjawabmedis/aplikasi.htm
Faktor yang mempengaruhi oksigenasi

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses oksigenasi adalah :
Faktor Fisiologis
Setiap kondisi yang mempengaruhi kardiopulmunar secara langsung akan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Proses fisiologi selain yang mempengaruhi proses oksigenasi pada klien termasuk perubahan yang mempengaruhi kapasitas darah untuk membawa oksigen, seperti anemia, peningkatan kebutuhan metabolisme, seperti kehamilan dan infeksi.
Faktor Perkembangan
Tahap perkembangan klien dan proses penuaan yang normal mempengaruhi oksigenasi jaringan. Saat lahir terjadi perubahan respirasi yang besar yaitu paru-paru yang sebelumnya berisi cairan menjadi berisi udara. Bayi memiliki dada yang kecil dan jalan nafas yang pendek. Bentuk dada bulat pada waktu bayi dan masa kanak-kanak, diameter dari depan ke belakang berkurang dengan proporsi terhadap diameter transversal. Pada orang dewasa thorak diasumsikan berbentuk oval. Pada lanjut usia juga terjadi perubahan pada bentuk thorak dan pola napas
1. Bayi premature : yang disebabkan kurangnya pembentukan surfaktan
2. Bayi dan toodler : adanya resiko infeksi saluran pernafasan akut
3. Anak usia sekolah dan remaja : resiko saluran pernafasan dan merokok
4. Dewasa muda dan pertengahan : diet yang tidak sehat, kurang aktivitas, stress yang mengakibatkan penyakit jantung dan paru-paru
5. Dewasa tua : adanya proses penuaan yang mengakibatkan kemungkinan arteriosclerosis, elastisitas menurun, ekspansi paru menurun
Faktor Perilaku
Perilaku atau gaya hidup baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kemampuan tubuh dalam memenuhi kebutuhan oksigen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi pernafasan meliputi: nutrisi, latihan fisik, merokok, penyalahgunaan substansi.
1. Nutrisi : misalnya pada obesitas mengakibatkan penurunan ekspansi paru, gizi yang buruk menjadi anemia sehingga daya ikat oksigen berkurang, diet yang terlalu tinggi lemak menimbulkan arteriosclerosis
2. Exercise (olahraga berlebih) :Exercise akan meningkatkan kebutuhan oksigen
3. Merokok : nikotin dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer dan koroner
4. Substance abuse (alkohol dan obat-obatan) : menyebabkan intake nutrisi menurun mengakibatkan penurunan hemoglobin, alkohol menyebabkan depesi pusat pernafasan
Faktor Lingkungan
1. Tempat kerja (polusi)
2. Suhu lingkungan
3. Ketinggian tempat dari permukaan laut
Faktor Psikologi
Stres adalah kondisi di mana seseorang mengalami ketidakenakan oleh karena harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak dikehendaki (stresor). Stres akut biasanya terjadi oleh karena pengaruh stresor yang sangat berat, datang tiba-tiba, tidak terduga, tidak dapat mengelak, serta menimbulkan kebingungan untuk mengambil tindakan. Stress akut tidak hanya berdampak pada psikologis nya saja tetapi juga pada biologisnya , yaitu mempengaruhi sistem fisiologis tubuh, khususnya organ tubuh bagian dalam yang tidak dipengaruhi oleh kehendak kita. Jadi, stres tersebut berpengaruh terhadap organ yang disyarafi oleh syaraf otonom.

Hipotalamus membentuk rantai fungsional dengan kelenjar pituitari (hipofise) yang ada di otak bagian bawah. Bila terjadi stres, khususnya stres yang akut, dengan cepat rantai tersebut akan bereaksi dengan tujuan untuk mempertahankan diri dan mengadaptasi dengan cara dikeluarkannya adrenalin dari kelenjar adrenal tersebut. Nah, adrenalin inilah yang akan mempengaruhi alat dalam tubuh yang tidak dipengaruhi oleh kehendak kita. Terjadinya kegagalan dalam proses suplai oksigen ke organ-organ tersebut karena organ-organ tubuh dalam bekerja selalu membutuhkan oksigen secara teratur dalam jumlah yang cukup, dan oksigen tersebut dibawa oleh darah yang mengalir ke organ-organ tersebut.

Ansietas atau kecemasan yang terlalu tinggi juga akan meningkatkan laju metabolisme tubuh dan kebutuhan akan oksigen. Tubuh berespons terhadap ansietas dan stress lain dengan meningkatkan frekuensi kedalaman pernafasan. Kebanyakan individu dapat beradaptasi, tetapi beberapa individu yang mengalami penyakit kronik seperti infark miokard tidak dapat mentoleransi kebutuhan oksigen akibat rasa cemas.


Kesimpulan

Bahwa faktor fisiologis merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses oksigenasi karena tidak adanya organ-organ pernafasan yang normal, maka tidak akan mendukung proses oksigenasi. Pernapasan yang normal dilakukan tanpa usaha dan pernapasan ini sama jaraknya dan sedikit perbedaan kedalamannya. Bernapas yang sulit disebut dyspnoe (sesak). Kadang-kadang terdapat napas cuping hidung karena usaha inspirasi yang meningkat, denyut jantung meningkat. Faktor ini tidak dapat diubah karena jika memang sudah terjadi patologis maka pemenuhan kebutuhan oksigenasi akan terganggu.
Faktor perkembangan juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi proses oksigenasi. Karena jika pada saat perkembangan atau pertumbuhan seseorang mengalami gangguan pada organ pernafasannya, maka selanjutnya proses oksigenasi akan terganggu.
Faktor lain yang juga penting adalah perilaku kita. Aktifitas dan latihan fisik meningkatkan laju dan kedalaman pernapasan dan denyut jantung, demikian juga suplay oksigen dalam tubuh. Merokok dan pekerjaan tertentu pada tempat yang berdebu dapat menjadi predisposisi penyakit paru. Dengan berperilaku sehat maka kita juga dapat memenuhi kebutuhan oksigen kita dengan baik.
Ketinggian, panas, dingin dan polusi mempengaruhi oksigenasi. Makin tinggi daratan makin sedikit O2 yang dapat dihirup individu. Sebagai akibatnya individu pada daerah ketinggian memiliki laju pernapasan dan jantung yang meningkat, juga kedalaman pernapasan yang meningkat. Ini merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi proses oksigenasi, karena kadar oksigen disetiap tempat itu berbeda. Otomatis oksigen yang kita hirup pun berbeda sehingga dapat berpengaruh pada proses oksigenasi didalam tubuh kita.



Keadaan psikologis yang baik juga akan mempengaruhi proses pmenuhan kebutuhan oksigen kita. Jika kita sedang mengalami gangguan psikis seperti tingkat kecemasan yang terlalu tinggi, maka laju metabolisme dalam tubuh kita akan meningkat, sehingga kebutuhan oksigen juga otomatis akan meningkat pula. Tubuh kita akan berespons dan meningkatkan frekuensi kedalaman pernafasan. Faktor psikologis ini dapat diubah dengan cara mengontrol emosi kita. Maka pemenuhan kebutuhan oksigen kita akan berjalan dengan normal.
PEMERIKSAAN KADAR HEMOGLOBIN DENGAN METODE SAHLI


HARI/TANGGAL : 24 Mei 2010
PENGAMPU : Hendro Suwanto


1. TUJUAN
Setelah melaksanakan praktikum Mahasiswa mampu melakukan pengkuran kadar HB dengan menggunakan metode sahli dan melakukan penilaian hasil pengukuran kadar HB tersebut.

2. TEORI
Pembentukan hematin asam merupakan salah satu cara penetapan hemoglobin secara visual. Darah diencerkan dengan larutan HCl sehingga hemoglobin berubah menjadi hematin asam. Dengan mengencerkan larutan campuran tersebut dengan aquadest sampai waranya sama dengan warna batang gelas standar, kadar hemoglobin dapat ditentukan. Nilai normal Hb pria : 14-18, wanita 12-16


3. ALAT DAN BAHAN
a. Set Haemometer :
1. Sikat
2. Standar haemometer/komparator
3. Pipet sahli 0,02 ml
4. Pengaduk kaca
5. Tabung pemeriksaan
6. Pipet pastur
b. Larutan HCL 0,1 N
c. Aquades
d. Darah kapiler
e. Lancet

4. CARA PEMERIKSAAN
a. Isi tabung pemeriksaan dengan larutan HCL 0,1 N sampai tanda strip 2
b. Bersihkan daerah ujung jari yang akan diambil darah kapilernya dengan kapas alkohol dan tusuk menggunakan lancet
c. Ambil darah kapiler menggunakan pipet sahli sebanyak 0,02 ml masukkkan ke dalam tabung pemeriksaan biarkan darah tercampur dengan larutan HCL
d. Letakkan tabung pemeriksaan ke dalam komparator/standar
e. Setelah 3menit tambahkan aquades setetes demi setetes sambil diaduk dengan batang pengaduk sampai warna larutan sama dengan standar yang ada di komparator
f. Baca skala yang ditunjukkan setelah warna sama pada tempat yang terang

5. HASIL PEMERIKSAAN
a. Nama yang diperiksa : Rizka Zulfidha
b. Darah perifer yang diambil : Darah vena 5 cc
c. Hasil pemeriksaan : Hb 12
d. Kesimpulan : Nilai normal Hb pria : 14-18, wanita 12-16
Hasil pemeriksaan Hb 12, “normal”
PEMERIKSAAN MASA PENDARAHAN METODE DUKE

HARI/TANGGAL : Senin, 24 Mei 2010
PENGAMPU : Hendro Suwanto

1. TUJUAN
Setelah melaksanakan praktikum Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan untuk mengetahui lama masa pendarahan dan menilai hemostatik dan koagulasi.

2. TEORI
Percobaan ini terutama untuk menilai factor hemostatis yang letaknya eksravaskuler ( di luar dinding pembuluh darah ). Apabila terjadi trombositpeni, waktu perdarahan akan memanjang yang apabila terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah.

3. ALAT DAN BAHAN
a. Disposible lancet steril
b. Stopwatch
c. Kapas alkohol
d. Kertas saring bulat

4. CARA PEMERIKSAAN
a. Bersihkan daun telinga dengan kapas alkohol, biarkan mengering
b. Lukai dengan lancet steril, hidupkan stopwatch
c. Setiap 30detik darah yang keluar diisap dengan menggunakan kertas saring bulat tapi jangan sampai menyinggung luka
d. Bila pendarahan berhenti, hentikan stopwatch dan catatlah waktu pendarahannya.normalnya waktu pendarahan 2menit

5. HASIL PEMERIKSAAN
a. Nama yang diperiksa : Susi Susanti
b. Hasil pemeriksaan : darah berhenti sampai 2 menit
c. Kesimpulan : Normal = 1-3 menit
Hasil = 2 menit
Jadi hasilnya adalah normal
















PEMERIKSAAN MASA PERDARAHAN METODE IVY


HARI/TANGGAL : Selasa, 8 Juni 2010
PENGAMPU : Hendro Suwanto

1. TUJUAN
Setelah melaksanakan praktikum mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan untuk mengetahui lama masa perdarahan dan menilai hemostat ik dan koagulasi dengan menggunakan metode IV 4

2. TEORI
Percobaan ini terutama untuk menilai factor hemostatis yang letaknya eksravaskuler ( di luar dinding pembuluh darah ). Apabila terjadi trombositpeni, waktu perdarahan akan memanjang yang apabila terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah.


3. ALAT DAN BAHAN
a. Disposible lancet steril
b. Stop watch
c. Kapas alkohol
d. Kertas saring bulat
a. Tens miter

4. CARA PEMERIKSAAN
a. Pasang manset tensi meter pada lengan atas di atas siku dan pompakan tensi meter sampai 40 mmHg selama pemeriksaan
b. Bersihkan permukaan volar lengan bawah dengan kapas alkohol 70%
c. Pilihlah daerah kulit yang sama sekali tidak ada vena supervisial, kira-kira 3 jari dari lipatan siku. Rentangkan kulit dan lukai dengan lancet steril, dengan lebar 1 mm dan dalam mm
d. Tepat saat terjadi perdarahan hidupkan stop watch
e. Setiap 30 detik darah yang keluar diisap dengan menggunakan kertas saring bulat tapi jangan sampai menyinggung lika
f. Bila perdarahan berhenti, hentikan stop watch dan lepaskan manset
g. Catatlah waktu perdarahannya
h. Ulangi peneriksan 2 kali, hasil pengamatan merupakan nilai rata-rata

5. HASIL PEMERIKSAAN
a. Nama yang diperksa : Wimpi Prasetyo
b. Hasil pemeriksaan : Darah berhenti sampai 2 menit
c. Kesimpulan : Normal : 1-7 menit
Hasil pemeriksaan : 2 menit, “normal”